Jumat, 17 Maret 2017

Mbah Muqoyyim

Tirakat Mbah Muqoyyim, Pendiri Buntet Pesantren Cirebon

Masjid Buntet Pesantren Cirebon
Profil Singkat Mbah Muqoyyim

Kiai Muqoyyim –terkadang akrab pula dipanggil Mbah muqoyyim- adalah pendiri Pondok Pesantren buntet Cirebon. Dia adalah salah seorang mufti (ahli agama) di Kesultanan Cirebon, tepatnya mufti dari Sultan Khairuddin I (Sultan kanoman, ayah dari Sultan Khairuddin II). Jabatan terhormat itu kemudian ditinggalkannya, semata-mata karena dorongan dan rasa tanggung jawabnya terhadap agama dan bangsa.

Mbah Muqoyyim meninggalkan kesultanan Cirebon dan mendirikan lembaga pendidikan pesantren Buntet pada tahun 1750 M. Untuk menghindari desakan penjajah Belanda, beliau selalu berpindah-pindah. Sebelum berada di Buntet, sebagimana sekarang, dia berada di sebuah daerah yang disebut Gajah Ngambung. Disebut begitu, karena konon Mbah Muqoyyim dikabarkan memiliki gajah putih.

Asal Usul Keluarga

Di desa Serengseng Kerangkeng Indramayu, ada seorang Lebe (pemimpin agama yang bertugas memimpin kegiatan-kegiatan keagamaan) bernama Warbita. Warbita, memangku jabatan Lebe di dua desa, yaitu Desa Serengseng dan Desa Kerangkeng. Oleh karena itulah dia diberi nama Warbita Mangkunegara, selanjutnya dikenal dengan panggilan Lebe Mangku.

Pada suatu hari, Lebe Mangku mengalami pengalaman pahit berupa wewirang atau malu berat. Sebab, saat dia menjadi Khotib shalat Jum’at di desanya, khotbahnya tidak memenuhi syarat dan rukun khotbah. Akibat kejadian tersebut, Lebe Mangku jadi cemoohan masyarakat di desanya. Karena tak kuat menahan rasa malu, Lebe Mangku kemudian meninggalkan kampong atau ‘uzlah untuk menenteramkan hati. Akhirnya, Lebe Mangku menemukan tempat yang berkenan di hatinya, yaitu tinggal sendiri di sebuah hutan di bawah pohon besar dengan akar yang terjurai melilit dan melingkar di atas permukaan tanah.

Sebagaimana lazimnya orang-orang dahulu, upaya yang ditempuh untuk mengatasi kesusahan dan kesulitan hidup, termasuk menanggung rasa malu, umumnya dengan cara mengosongkan perut atau berpuasa, tafakur dan dzikrullah di tempat sunyi. Lebe Mangku juga menempuh cara-cara seperti itu, disertai jeritan doa pada Yang Mahakuasa agar kejadian memalukan yang telah dialaminya tidak terulang menimpa anak, cucu dan keturunannya. Bahkan, Lebe Mangku memohon agar kelak  anak cucunya menjadi muslim yang tafaqquh fiddin (ahli agama). Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Lebe Mangku dengan hati yang pasrah meningkatkan taqarrub kepada Allah dengan duduk bersila, bersimpuh di keheningan hutan di bawah pohon, memasrahkan tubuhnya seakan-akan tubuhnya menyatu dengan pohon besar penuh lilitan akar itu.

Beberapa waktu kemudian, Kuwu (kepala desa) serta pamong desa Kerangkeng masuk ke hutan tersebut, mencari kayu bakar untuk dipersembahkan kepada atasan mereka yang hendak menggelar pesta hajat. Dalam perjalanan itu, Kuwu Kerangkeng beserta rombongan melihat pohon besar di mana banyak lilitan akar, daun-daunnya mongering rontok, dan batang pohonnya juga kerontang. Tak pelak, pohon itu menarik perhatian mereka yang memang sedang mencari kayu bakar kering. Tanpa piker panjang lagi, pak Kuwu langsung memerintahkan anak buahnya untuk segera menebang pohon besar tersebut. Namun, ketika anak buah Kuwu mengayunkan kapaknya, tiba-tiba terlihat sosok tubuh manusia yang tampak sedang duduk bersila, bersimpuh dengan penuh khusyuk. Ayunan kapak segera dihentikan dan Kuwu beserta pamong desa segera mendatanginya, dengan perlahan dan hati-hati. Betapa kagetnya Pak Kuwu beserta rombongannya setelah mereka mengetahui bahwa tubuh yang duduk khusyuk tak bergerak itu ternyata adalah Lebe mangku yang selama ini diberitakan menghilang.

Perjalanan hidup Lebe Mangku tidak selamanya pahit, sebab, tidak berapa lama kemudian, salah seorang puterinya, Anjasmara, tumbuh mekar menjadi gadis remaja dan memikat hati salah seorang Pangeran Cirebon. Peristiwa tersebut berlangsung ketika rombongan Pangeran Cirebon, dengan kereta Keraton Cirebon beroda delapan, mengadakan kunjungan ke kampong Anjasmara di desa Kerangkeng.

Akhirnya, mereka menikah. Dari pernikahan dengan Pangeran Cirebon, Anjasmara memperoleh keturunan, antara lain seorang putera bernama Andul Hadi. Sebab hidup di lingkungan keratin, selain mendapat pelajaran ketatanegaraan, Abdul Hadi juga memperoleh pelajaran Agama Islam dari guru agama Islam. Dan karena pengetahuan Islam dan ibadahnya menonjol, Abdul Hadi dikenal dengan sebutan Kiai Abdul Hadi. Kiai Abdul Hadi inilah yang kemudian hari menurunkan seorang putera bernama Muqoyyim (Mbah Muqoyyim).

Makam Mbah Muqoyyim
Tirakat

Menjelang akhir hayatnya, Mbah Muqoyyim melakukan tirakat puasa selama 12 tahun dengan tujuan bertaqarrub kepada Allah. Mbah Muqoyyim membagi niat puasanya yang 12 tahun itu dalam empat bagian :
  1. Tiga tahun pertama ditujukan untuk keselamatan Pesantren Buntet;
  2. Tiga tahun kedua ditujukan untuk keselamatan anak cucunya;
  3. Tiga tahun ketiga ditujukan untuk para santri dan pengikut setianya;
  4. Tiga tahun keempat ditujukan untuk keselamatan dirinya.
Sepeninggal Mbah Muqoyyim, pondok Pesantren Buntet diasuh oleh Kiai yang beberapa diantaranya memiliki garis genealogi dari Kiai yang masih keturunan Sunan Gunungjati ini.

Penghuni Surga

Ketahui Empat Ciri Calon Penghuni Surga
Surga menjadi tempat terindah yang didambakan bagi setiap umat manusia. Ada begitu banyak kenikmatan luar biasa yang terdapat di dalamnya. Namun, tentu saja surga tidak bisa dimasuki oleh sembarangan orang, hanya mereka yang sesuai kriterialah yang akan menjadi penghuninya.

Hal ini membuat orang bertanya-tanya apa saja kriteria dan syarat untuk menjadi penghuni surga. Surga hanya akan dihuni oleh mereka yang beriman dan senantiasa melakukan amalan kebaikan selama hidup di dunia.

Namun, selain kriteria di atas ternyata Allah SWT juga telah menetapkan kriteria tersendiri agar manusia bisa menjadi penghuni surga. Bahkan Allah telah menetapkan empat ciri calon hamba yang akan menjadi penghuni surga. Apa sajakah ciri penghuni surga tersebut? Berikut informasinya.

Keempat ciri calon penghuni surga telah dijelaskan dalam Al-Qur’an, tepatnya terdapat dalam Surah Qaf ayat 31-33. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tidak jauh dari mereka. Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat.” (QS. Qaf [50]: 31-33).

1. Awwab
Ciri pertama calon penghuni surga adalah orang memiliki sikap awwab yakni mereka yang kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Selain itu, awwab juga diartikan sebagai pula kepada dzikrullah setelah melalaikannya.

Ubaid bin Umair juga menjelaskan bahwa awwab adalah mengingat dosa-dosanya terdahulu lalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah SWT. Sedangkan menurut Amam Mujahid, Awwab adalah orang yang mengenang kesalahannya saat ia sendirian dak kemudian ia memohon maghfirah kepada Allah.

Manusia memang menjadi gudang untuk berbuat kesalahan. Akan tetapi, masih ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki kesalahan tersebut dan bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT. Hal ini bisa dilakukan dengan memperbanyak istighfar, dengan demikian makan ia akan bisa menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang menimpanya. Allah SWT berfirman:

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui.” (QS. Al-Imran [3]: 135).

2. Hafidz
Ciri kedua calon penghuni surga adalah mereka yang hafidz, yakni orang-orang yang memelihara aturan-aturan Allah SWT. Ibn Abbas mengatakan bahwa maksud dari memilihara semua peraturan Allah SWT adalah ia memilihara apa pun yang sudah diamanatkan oleh Allah kepadanya dan mengerjalan apa yang sudah diwajbkan atasnya.

Orang yang memiliki ciri hafidz ini akan senantiasa memilihara semua hak dan nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT. Mereka akan mampu menggunakan kekuatan dan kelebihan dalam hal kebaikan serta menghindari dirinya dari berbagai kemaksiatan yang dilarang oleh Allah SWT.

3. Khasyyah
Khasyyah menjadi ciri selanjutnya calon penghuni surga. Secara bahas khasyyah diartikan sebagai takut. Khasyyah adalah rasa takut seorang hamba yang disebabkan ilmu yang dimilikinya terhadap hal yang ditakuti.

Ketika seorang hamba memiliki rasa khasyyah yang besar, maka ia akan memiliki rasa cinta yang besar pula kepada Allah SWT. Dengan rasa cinta yang besar tersebut, maka ia akan melakukan semua amalan yang diperintahkan oleh Allah SWT.

Rasa khasyyah ini juga bisa meminimalisir hamba tersebut untuk berbuat maksiat. Hal ini dikarenakan orang yang memiliki sikap ini akan merasa bahwa Allah berada dimana-mana dan mengawasi setiap gerak-geriknya sehingga ia merasa takut untuk melakukan perbuatan dosa.

4. Hati yang Inabah

Ciri terakhir seorag hamba yang menjadi calon penghuni surga adalah mereka yang memiliki hati yang inabah. Ibn Abbas mengatakan maksud dari ciri ini ialah seorang hamba yang datang dengan hati yang kembali kepada Allah dari kemaksiatan. Pada hakikatnya inabah diartikan sebagai menghadapnya qalbu kepada Allah SWT.

Inabah menjadi inti dari ibadah yang agung. Allah SWT mensifati para Nabi dan hamba yang beriman dengan sifat inabah ini. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sungguh, Kami telah menguji Sulaiman dan Kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah karena sakit), kemudian dia bertobat.” (QS. Shad [38]: 34).

Menurut Ibn al-Qayyim, inabah adalah kembali menggapai ridha Allah disertai dengan taubat serta niatan yang ikhlas. Memiliki sifat inabah menjadi salah satu pintu untuk memperoleh hidayah dari Allah SWT.

Demikianlah informasi mengenai empat ciri calon penghuni surga. Semoga kita termasuk ke dalam golongan hamba yang memiliki keempat sifat tersebut. Agar Allah SWT membukakan pintu selebar-lebarnya bagi kita untuk menjadi penghuni surga yang kekal.
Tag : Islam

Pandangan Islam

Memelihara Anjing Dalam Pandangan Islam

Posted by Mukhammad umroni

Termasuk yang dilarang oleh Nabi ialah memelihara anjing di dalam rumah tanpa ada suatu keperluan. Sebagaimana kita ketahui, ada beberapa orang yang berlebih-lebihan dalam memberikan makan kepada anjingnya, sedang kepada manusia sangatlah pelit.

Ada pula yang kita saksikan orang-orang yang tidak cukup membiayai anjingnya dengan hartanya untuk melatih anjing. Bahkan seluruh hatinya dicurahkan kepada anjing itu, sedang dia acuh tak acuh terhadap kerabatnya dan melupakan tetanggga dan saudaranya.

Adanya anjing dalam rumah seorang muslim, memungkinkan terdapatnya najis pada bejana dan sebagainya karena jilatan anjing itu. Rasulullah saw bersabda,

“Apabila anjing menjilat dalam tempat airmu, maka cucilah tempat itu tujuh kali, salah satu di antaranya dengan tanah.” (HR. Bukhari)

Memelihara Anjing Dalam Pandangan Islam


memelihara anjing
Sebagian ulama ada yang berpendapat, bahwa hikmah dilarangnya memelihara anjing dirumah ialah: Kalau anjing itu menyalak, dapat menakutkan para tamu yang datang dan dapat mengganggu orang yang sedang jalan. Rasulullah saw, pernah mengatakan,

“Malaikat Jibril datang kepadaku, kemudian ia berkata kepadaku, ‘Tadi malam saya datang kepadamu, tidak ada satupun yang menghalang-halangi aku untuk masuk, kecuali di pintu rumahmu ada patung dan didalamnya ada hijab yang bergambar, dan di dalam rumah itu ada pula anjing. Untuk itu perintahkanlah supaya kepala patung itu dipotong untuk dijadikan seperti keadaan pohon dan perintahkanlah pula supaya korden itu dipotong untuk dijadikan dua bantal
Advertisement
yang diduduki, dan diperitakanlah anjing itu supaya dikeluarkan”(HR. Abu Daud, Nasa`I, Turmudzi dan Ibnu Hibban)

Anjing yang dilarang dalam hadis ini hanyalah anjing  yang dipelihara tanpa ada keperluan. Adapun anjing yang dipelihara karena ada kepentingan, misalnya untuk berburu, manjaga tanaman, menjaga binatang dan sebagainya dapat dikecualikan dalam hubungan.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain, Rasulullah saw bersabda,

“Barangsiapa memelihara anjing, selain anjing pemburu atau penjaga tanaman dan binatang, maka pahalanya akab berkurang setiap hari satu qirat” (Riwayat Jamaah)

Berdasarkan hadis tersebut, sebagia ahli fiqih berpendapat bahwa larangan memelihara anjing itu hanya makruh, bukan haram. Sebab kalau sesuatu yang haram sama sekali, tidak boleh diambil atau dikerjakan baik pahalanya itu berkurang atau tidak.

Dilarangnya memelihara anjing dalam rumah, bukan berarti kita bersikap keras kepada anjing atau kita diperiintah untuk membunuhnya. Sebab Rasulullah bersabda,

“Andaikata anjing-anjing itu bukan umat seperti umat-umat yang lain, niscaya saya perintahkan untuk dibunuh (HR. Abu Daud dan Turmidzi)”

Rasullullah pernah juga mengisahkan kepada para sahabatnya tentang seorang laki-laki yang menjumpai anjing di padang pasir, anjing itu menyalak-nyalak sambil makan debu karena kehausan. Lantas laki-laki tersebut menuju sebuah sumur dan melepas sepatuhnya kemudian dipenuhi dengan air, setelah itu minumlah anjing itu dengan puas.

Setelah itu Nabi bersabda, “Karena itu Allah berterima kasih kepada orang yang memberi pertolongan itu serta mengampuni dosanya” (HR. Bukhari)

Semoga bermafaat…

Kamis, 16 Maret 2017

amalan sunan gunung jati

amalan mendapatkan kekayaan dgn cepat sunan gunung jati 





ASSALAMU’ALAIKUM.WR.WB
BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM ASYHADU ALLAAILAAHAILLALLOOH WA ASYHADUANNA MUHAMMADAROSULULLOOH.LAA HAWLA WALAA QUWWATA ILLAA
BILLAAHIL ‘ALIYYIL‘ADHIIM.ALHAMDULILLAAHI ROBBIL ‘ALAMIIN.ALLOOHUMMA
SHOLLI WASALLIM WABAARIK ‘ALAA SAYYIDINAA MUHAMMADIN WA ‘ALAA
ALIHI WASHOHBIHI AJMA’IIN. DENGAN IZIN DAN RIDHO ALLAH SAYA TULUS IKHLAS
MENGIJAZAHKAN AMALAN ILMU REJEKI MUJARAB KEPADA SELURUH ANGGOTA KELUARGA BESAR PADEPOKAN AL- KAAFII (KBPK). SEMOGA BERMANFAAT DUNIA DAN
AKHIRAT.AMIN YA ROBBAL ‘ALAMIIN.KUN FAYAKUUN.ALLAHU AKBAR ALLAHU AKBAR
ALLAHU AKBAR. DIAWALI DENGAN MELAKSANAKAN SHOLAT SUNAH HAJAT EMPAT
ROKAAT DENGAN DUA SALAM PADA JAM 11 MALAM WAKTU JAKARTA INDONESIA DENGAN CARA BERIKUT: :

ROKAAT PERTAMA SELESAI AL-FATIHAH 1X BACA AL-IKHLAS 10X
ROKAAT PERTAMA SELESAI AL-FATIHAH 1X BACA AL-KHLAS 20X LALU SALAM
ROKAAT PERTAMA SELESAI AL-FATIHAH 1X BACA AL- IKHLAS 30X
ROKAAT PERTAMA SELESAI AL-FATIHAH 1X BACA AL-IKHLAS 40XLALU SALAM

SETELAH SELESAI SHOLAT SUNAH HAJAT DILANJUTKAN MEMBACA:
1.BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM 7X TAHAN NAFAS
2.ISTIGHFAR 7X TAHAN NAFAS
3. SYAHADAT 7X TAHAN NAFAS
4. SHOLAWAT NABI 7X TAHAN NAFAS
5.LA HAWLA WALAA QUWWATA ILLAA BILLAAHIL ‘ALIYYIL‘ADHIIM 3X TAHAN NAFAS
6.AL-FATIHAH 7X TAHAN NAFAS
7.ALLAHU AKBAR 7X TAHAN NAFAS

BISMILLAHIRROHMANIRROHIIM
** LI RIDHO ILLAAHITA’ALA AL-FATIHAH 1X
1.ILA HADROTIN NABIYYIL MUSTHOFA SAYYIDINA MUHAMMADIN S.A.W AL-
FATIHAH 1X
2. WA ILA HADROTI SAYYIDINA ABU BAKAR,UMAR,USMAN,ALI, R.A AL-FATIHAH 1X
3. WA ILA HADROTI SAYYIDINA MALAIKAT JIBRIL,MIKAIL,ISROFIL, IZROIL A.S AL-FATIHAH 1X
4. WA KUSUSON ILA HADROTI SAYYIDIS SYEKH ABDUL QODIR JAILANI R.A
AL-FATIHAH 1X
5. WA KUSUSON ILA HADROTI SAYYIDIS SYEKH SYARIF HIDAYATULLOH SUNAN GUNUNG JATI CIREBON AL-FATIHAH 1X
6. WA KUSUSON ILA HADROTI SAYYIDIS SYEKH PANGERAN CAKRABUANA
CIREBON AL-FATIHAH 1X
7. WA KUSUSON ILA HADROTI SAYYIDIS SYEKH NUR JATI CIREBON
 AL-FATIHA 1X
8. WA KUSUSON ILA HADROTI SAYYIDIS SYEKH QURO KARAWANG AL-
FATIHAH 1X
9. WA KUSUSON ILA HADROTI EMBAH EYANG ABDULLOH AL-FATIHAH 1X
10. WA KUSUSON ILA HADROTI WALI MASHURI AL-FATIHAH 1X
11. WA KUSUSON ILA HADROTI SAYYIDI SYEKH MAGELUNG SAKTI CIREBON
AL-FATIHAH 1X
12. WA KUSUSON ILA HADROTI EMBAH SHODIKIN UNDERAN AL-FATIHAH 1X
13. WA KUSUSON ILA RUHI ABI WA UMMI WA ILA JAMI’IL MUSLIMINA WAL
MUSLIMATI WAL MU’MININA WAL MU’MINATI AL AHYAI MINHUM WAL AMWAT AL-FATIHAH 1X
14. WA KUSUSON ILA HADROTI SHOHIBUL IJAZAH ABAH RAFFI CIREBON AL-FATIHAH 1X
15. WA KUSUSON ILA RUHI WAJASADI SHOHIBUL HAJAT…….(NAMA ANDA
DAN NAMA IBU KANDUNG) AL-FATIHAH 1X
– ISTIGHFAR 101X
– ALLAHUMMA SHOLLI ‘ALA SAYYIDINA MUHAMMAD SHOKHIBUL MU’JIZATI DHOHIROH 301X
– HASBUNALLOOHU WANI’MAL WAKIIL 1001X
– YAA LATHIIF 1001X
– YAA HAYYU YAA QOYYUM 301X
– YAA KARIIMU YAA WADUUD 301X

Lalu sujud sambil membaca; YA ALLAH YA ROBBI NIAT SAYA SUJUD MEMOHON MILIK REJEKI
LANGSUNG UANG NYATA SEKARANG KONTAN,UNTUK KEPERLUAN HIDUP DAN IBADAH SAYA.1X

CARANYA; puasa 3 hari mutih,mulai puasa hari selasa dan hari terakhir tidak makan minum dan
tidak tidur sehari semalam.amalan dibaca habis sholat hajat 4 rokaat 2x salam.pada jam 11 malam waktu jakarta indonesia. sediakan kamar kusus (kholwat).selama ritualkamar tersebut tdak boleh dimasuki
seseorangpun terkecuali dirinya sendiri,dilarang juga dikamar trsebut ada gambar,dan gantungan
pakaian,setiap ritual pakaian badan dan tempat harus bersih dan memakai wewangian,juga
membakar kemenyan arab dan kayu gaharu.insya ALLAH,setelah melakukan ritual ini akan
mendapatkan rejeki yang mendadak yang datang tidak disangka- sangka.yang penting setiap amalan jangan
fikirkan sifat dunia,mengharaplah ridho ALLAH,krana bila ALLAH ridho segala maksud kita akan
tercapai.tujuan TERTUJU untuk ibadah.meminta pertolongan hanya kepada allah jangan sekali-kali minta
pertolongan kepada selain ALLAH.WAHAI SAUDARAKU SEMUA JANGAN MUDAH PUTUS
ASA SEBELUM TERASA,JANGAN MUDAH BERHENTI SEBELUM TERBUKTI.Ulangi ritual
dalam setiap ilmu beberapa kali karena itu bisa mencapai kesempurnaan ilmu tersebut,dan bisa
mendekatkan kita kejenjang keberhasilan.bersabar dan tawakal,menerima dari segala cobaan yg
diberikan ALLAH kpda kita.karena setiap masalah bersumber dari kesalahan kita sndiri,hadapilah dengan
tabah dan perkuat iman islam kita ambilah hikmah dari setiap masalah untuk dijadikan pelajaran hidup
agar lebih waspada untuk menjalaninya.perbanyaklah bersyukur dari segalanikmat yg diberikan oleh ALLAH. SWT.

Najis

Cara Membersihkan Najis

Para ulama membagi najis dibagi menjadi tiga: Najasah mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah, Najasah mukhaffafah (ringan), Najasah mutawashitah (pertengahan). Berikut ini cara membersihkan najis berdasarkan jenisnya.


Najasah atau najis secara bahasa artinya kotoran. Najasah atau najis dalam istilah syariat adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh syariat. Dalam Ar Raudhatun Nadiyyah disebutkan,
النجاسات جمع نجاسة, و هي كل شيئ يستقذره أهل الطبائع السليمة و يتحفظون عنه و يغسلون الثياب إذا أصابهم كالعذرة و البول
Najasat adalah bentuk jamak dari najasah, ia adalah segala sesuatu yang dianggap kotor oleh orang-orang yang memiliki fitrah yang bersih dan mereka akan berusaha menjauhinya dan membersihkan pakaiannya jika terkena olehnya semisal kotoran manusia dan air seni”1.
Dalam Al Fiqhul Muyassar disebutkan,
النجاسة: هي كل عين مستقذرة أمر الشارع باجتنابها
Najasah adalah setiap hal yang dianggap kotor yang diperintahkan oleh syariat untuk menjauhinya”2.
Dari penyataan “dianggap kotor oleh syariat” dalam definisi-definisi yang disebutkan para ulama menunjukkan bahwa tidak semua yang kotor menurut manusia itu adalah najis dalam istilah syar’i, dan juga menunjukkan bahwa menentukan najis atau tidaknya sesuatu itu harus dilandasi dalil. Jika tidak ada dalil yang menunjukkan najisnya sesuatu tersebut, maka ia suci. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di mengatakan:
يجب أن يعلم أن الأصل في جميع الأشياء الطهارة فلا تنجس و لا ينجس منها إلا ما دل عليه الشرع
“wajib diketahui bahwa hukum asal dari segala sesuatu itu suci, maka tidak boleh mengatakan ia sesuatu itu najis atau menajiskan kecuali ada dalil dari syariat”3.
Maka najis tidak bisa ditentukan dengan akal atau perasaan seseorang bahwa sesuatu itu najis, melainkan harus berdasarkan dalil. Dan yang dituntut dari kita terhadap najis adalah kita diperintahkan untuk menjauhinya dan membersihkan diri darinya jika terkena najis.
Kemudian, najis berbeda dengan pembatal wudhu. Dan jika seseorang terkena najis, wudhunya tidak menjadi batal, namun ia wajib membersihkan najis tersebut

Perintah membersihkan najis

Syariat memerintahkan kita untuk membersihkan diri dari najis dalam banyak dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah. Diantaranya firman Allah Ta’ala:
وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ
dan pakaianmu sucikanlah” (QS. Al Mudatsir: 4).
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَعَهِدْنَا إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ
Dan kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail untuk mensucikan rumah-Ku bagi orang-orang yang ber-thawaf, ber-i’tikaf dan orang-orang yang rukuk dan sujud” (QS. Al Baqarah: 125).
Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَالَ أَمَا إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ وَأَمَّا الآخَرُ فَكَانَ لا يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ
“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melewati dua kuburan. Lalu beliau bersabda: “kedua orang ini sedang diadzab, dan mereka diazab bukan karena dosa besar. Orang yang pertama diadzab karena berbuat namimah (adu domba). Adapun yang kedua, ia diadzab karena tidak membersihkan diri dari sisa kencingnya”” (HR. Muslim no. 292).
Dan dalil-dalil yang lainnya.

Cara membersihkan najis

Para ulama membagi najis dibagi menjadi tiga:
  1. Najasah mughallazhah (berat) atau najasah tsaqilah
  2. Najasah mukhaffafah (ringan)
  3. Najasah mutawashitah (pertengahan)
1. Cara membersihkan najasah tsaqilah
Misalnya najis dari anjing dan babi, maka membersihkannya dengan tujuh kali cucian, dan cucian yang pertama menggunakan tanah atau semacamnya. Syaikh As Sa’di menyatakan: “Najis dari anjing dan semua yang berasal dari babi cara mencucinya harus dengan tujuh kali cucian, dan cucian yang pertama menggunakan tanah atau semacamnya” 4.
Dalilnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
cara mensucikan bejana dari seseorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan mencucinya tujuh kali, cucian yang pertama menggunakan tanah” (HR. Al Bukhari no. 182, Muslim no. 279).
Dan babi juga demikian, berdasarkan qiyas min baabil aula. Karena babi lebih buruk dari pada anjing5.
2. Cara membersihkan najasah mukhaffafah
Najasah yang mukhaffah ada 3 macam di lihat dari cara membersihkannya:
a. Dengan cara memercikkan air sekali percikan
Syaikh As Sa’di menyatakan: “air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan karena syahwat (untuk makan) maka ini semua cukup dipercikkan air sekali saja, ini merupakan salah satu pendapat dari madzhab (Hambali), sebagaimana terdapat dalam hadits-hadits shahih. Demikian juga muntahnya anak-anak, itu statusnya lebih ringan daripada air kencingnya. Demikian juga madzi, menurut pendapat yang shahih, ia juga cukup dipercikkan air saja, sebagaimana terdapat dalam hadits, dan ini semua selaras dengan hikmah keringanan dalam masyaqqah”6.
Berikut perincian dalilnya:
  • Air kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan
    Hadits dari Abu Samh Malik radhiallahu’anhu, ia berkata:
    يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
    Air kencing anak perempuan itu dicuci, sedangkan air kencing anak laki-laki itu dipercikkan” (HR. Abu Daud 377, An Nasa’i 303, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i).
  • Muntahnya anak laki-laki yang belum memakan makanan, diqiyaskan dengan air kencing.
  • Madzi
    Berdasarkan hadits Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, ia berkata:
    أرسَلْنا المِقْدَّادَ بنَ الأسودٍ إلى رسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم ،فسألَه عن المَذْيِ يَخْرُجُ مِنَ الإنسانِ كيفَ يَفْعَلُ به ؟ فقال رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : تَوَضَّأْ ،وانْضَّحْ فَرْجَكَ
    Miqdad bin Al Aswad mengutusku kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu aku bertanya mengenai madzi yang keluar dari seseorang, bagaimana menyikapinya? Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘berwudhulah dan percikkan kemaluanmu dengan air‘” (HR. Muslim 303).
b. Dengan menyiramnya sekali siram atau secukupnya hingga hilang inti objeknya
Ini berlaku pada semua najis yang ada di atas permukaan lantai atau tanah. Syaikh As Sa’di menyatakan: “Najis jika berada di atas permukaan tanah atau lantai maka cukup disiram dengan sekali siraman yang membuat ‘ainun najasah (inti dari objek najis) hilang, sebagaimana perintah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam untuk menyiram air kencing orang badwi dengan seember air”7.
Dalilnya hadits Anas bin Malik radhiallahu’anhu, beliau berkata:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ المَسْجِدِ، فَزَجَرَهُ النَّاسُ، «فَنَهَاهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ»
Seorang arab badwi kencing di satu bagian masjid, maka orang-orang pun hendak memarahinya. Namun Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mereka. Ketika ia selesai kencing, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memerintahkan untuk menyiram air kencingnya dengan seember air” (HR. Bukhari no. 221, Muslim no. 284).
Dari hadits ini jelas bahwa najis yang ada di permukaan lantai atau tanah maka cukup hingga hilang  ‘ainun najasah (inti dari objek najis), tidak harus hilang 100%. Karena Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hanya memerintahkan untuk menyiram air kencing orang badwi tersebut dengan air seember yang tentu belum menghilangkan semua najisnya 100%.
c. Dengan menyentuhkan pada debu atau tanah
Yaitu najis yang ada pada bagian bawah sepatu dan alas kaki lainnya, juga pada bagian bawah pakaian wanita yang terkena tanah. Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najis yang ada pada bagian bawah sepatu dan alas kaki lainnya, cukup disentuhkan pada permukaan tanah atau pada debu, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih. Dan ini yang sesuai dengan hikmah syar’iyyah”.
Dalilnya hadits Abu Sa’id Al Khudri radhiallahu’anhu:
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ، فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ، فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ، قَالَ: «مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ»، قَالُوا: رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا – أَوْ قَالَ: أَذًى – ” وَقَالَ: ” إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ: فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا “
Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam shalat bersama para sahabatnya, beliau melepaskan kedua sandalnya dan meletakannya di sebelah kirinya. Ketika para sahabat (yang bermakmum) melihat hal itu, mereka pun melemparkan sandal-sandal mereka. Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam selesai shalat beliau bertanya: ‘Mengapa kalian melemparkan sandal-sandal kalian?’. Para sahabat menjawab: ‘Kami melihat anda melemparkan sandal anda, maka kami pun melemparkan sandal kami’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya aku melihat Jibril ‘alaihissalam mendatangiku dan mengabarkanku bahwa pada kedua sandalku ada najis (dalam riwayat lain: kotoran)’. Lalu beliau bersabda: ‘Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid maka perhatikanlah kedua sandalnya, jika ia melihat ada najis atau kotoran maka sentuhkanlah (ke tanah) lalu shalatlah dengan keduanya‘” (HR. Abu Daud no. 650, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Abi Daud).
Juga hadits dari Ummu Salamah radhiallahu’anha. Dari jalan Ummu Walad (disebut juga: Hamidah), ia berkata:
قُلْتُ لأُمِّ سَلَمَةَ: إِنِّي امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِي وَأَمْشِي فِي الْمَكَانِ القَذِرِ؟ فَقَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ
Aku bertanya kepada Ummu Salamah: ‘saya ini wanita yang panjang gaunnya dan saya biasa berjalan di tempat yang kotor’. Ummu Salamah berkata: ‘Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘tanah yang setelahnya sudah membersihkannya””(HR. Tirmidzi 143, ia berkata: “hadits ini shahih”).
3. Cara membersihkan najasah mutawashitah
Yaitu yang bukan termasuk kedua jenis di atas, misalnya air kencing secara umum, kotoran manusia (feces), bangkai, darah haid, dll. Maka cara membersihkannya bisa dengan berbagai cara yang bisa menghilangkan semua najisnya hingga tidak tersisa warna, bau dan rasanya. Bisa dengan menyiramnya, atau membasuhnya, atau mencucinya, atau menyikatnya, atau menggunakan sabun, atau menggunakan alat-alat kebersihan.
Syaikh As Sa’di menjelaskan: “Najasah (mutawashitah) ketika ia bisa hilang dengan cara apapun, dengan alat apapun, maka itu sudah cukup untuk mensucikannya. Tanpa disyaratkan adanya jumlah bilangan dan tidak harus menggunakan air. Ini yang ditunjukkan oleh zhahir nash dalil-dalil. Karena syariat dalam hal ini hanya memerintahkan untuk menghilangkan najis. Dan najis itu terkadang hilang dengan menggunakan air, kadang dengan membasuhnya, kadang dengan istijmar (menggunakan batu, kayu atau semisalnya), dan terkadang dengan cara yang lain. Dan syariat tidak memerintahkan untuk menghilangkan najis sebanyak tujuh kali, kecuali najis anjing. Sebagaimana juga pendapat ini juga merupakan kelaziman dari nash dalil-dalil syar’i, karena pendapat ini memiliki kesesuaian yang tinggi dengan nash. Karena penghilangan najis itu adalah penghilangan sesuatu yang mahsuusah (bisa diindera)”8.
Demikian semoga bermanfaat. Wallahu ta’ala a’lam.

Nadhatul Ulama

SEJARAH & TUJUAN


 SEJARAH
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya,  muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.

Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut  dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.

Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.

Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.

Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.

Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan Kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

PAHAM KE'AGAMAAN

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

SIKAP KEMASYARAKATAN

Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.

Gagasan kembali ke Khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

BASIS PENDUKUNG

Jumlah warga Nahdlatul Ulama (NU) atau basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 40 juta orang, dari beragam profesi. Sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial-ekonomi memiliki masalah yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.

Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi. Warga NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Jika selama ini basis NU lebih kuat di sektor pertanian di pedesaan, maka saat ini, pada sektor perburuhan di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

TUJUAN

Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Usaha Organisasi
  1. Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
  2. Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
  3. Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
  4. Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
  5. Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
STRUKTUR

  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota)
  4. Majelis Wakil Cabang (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa/Kelurahan)
Untuk tingkat Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Mustasyar (Penasehat)
  2. Syuriah (Pimpinan Tertinggi)
  3. Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk tingkat Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
  1. Syuriaah (Pimpinan tertinggi)
  2. Tanfidziyah (Pelaksana harian)

JARINGAN



Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) meliputi:
  • 31 Pengurus Wilayah
  • 339 Pengurus Cabang
  • 12 Pengurus Cabang Istimewa
  • 2.630 Majelis Wakil Cabang
  • 37.125 Pengurus Ranting

Banser