Tirakat Mbah Muqoyyim, Pendiri Buntet Pesantren Cirebon
![]() |
Masjid Buntet Pesantren Cirebon |
Profil Singkat Mbah Muqoyyim
Kiai Muqoyyim –terkadang akrab pula dipanggil
Mbah muqoyyim- adalah pendiri Pondok Pesantren buntet Cirebon. Dia adalah salah
seorang mufti (ahli agama) di Kesultanan Cirebon, tepatnya mufti dari Sultan
Khairuddin I (Sultan kanoman, ayah dari Sultan Khairuddin II). Jabatan
terhormat itu kemudian ditinggalkannya, semata-mata karena dorongan dan rasa
tanggung jawabnya terhadap agama dan bangsa.
Mbah Muqoyyim meninggalkan kesultanan Cirebon
dan mendirikan lembaga pendidikan pesantren Buntet pada tahun 1750 M. Untuk
menghindari desakan penjajah Belanda, beliau selalu berpindah-pindah. Sebelum
berada di Buntet, sebagimana sekarang, dia berada di sebuah daerah yang disebut
Gajah Ngambung. Disebut begitu, karena konon Mbah Muqoyyim dikabarkan memiliki
gajah putih.
Asal Usul Keluarga
Di desa Serengseng Kerangkeng Indramayu, ada
seorang Lebe (pemimpin agama yang bertugas memimpin kegiatan-kegiatan
keagamaan) bernama Warbita. Warbita, memangku jabatan Lebe di dua desa, yaitu
Desa Serengseng dan Desa Kerangkeng. Oleh karena itulah dia diberi nama Warbita
Mangkunegara, selanjutnya dikenal dengan panggilan Lebe Mangku.
Pada suatu hari, Lebe Mangku mengalami
pengalaman pahit berupa wewirang atau malu berat. Sebab, saat dia menjadi
Khotib shalat Jum’at di desanya, khotbahnya tidak memenuhi syarat dan rukun
khotbah. Akibat kejadian tersebut, Lebe Mangku jadi cemoohan masyarakat di
desanya. Karena tak kuat menahan rasa malu, Lebe Mangku kemudian meninggalkan kampong
atau ‘uzlah untuk menenteramkan hati. Akhirnya, Lebe Mangku menemukan
tempat yang berkenan di hatinya, yaitu tinggal sendiri di sebuah hutan di bawah
pohon besar dengan akar yang terjurai melilit dan melingkar di atas permukaan
tanah.
Sebagaimana lazimnya orang-orang dahulu, upaya
yang ditempuh untuk mengatasi kesusahan dan kesulitan hidup, termasuk
menanggung rasa malu, umumnya dengan cara mengosongkan perut atau berpuasa,
tafakur dan dzikrullah di tempat sunyi. Lebe Mangku juga menempuh cara-cara
seperti itu, disertai jeritan doa pada Yang Mahakuasa agar kejadian memalukan
yang telah dialaminya tidak terulang menimpa anak, cucu dan keturunannya.
Bahkan, Lebe Mangku memohon agar kelak
anak cucunya menjadi muslim yang tafaqquh fiddin (ahli agama).
Maka, tanpa ragu-ragu lagi, Lebe Mangku dengan hati yang pasrah meningkatkan taqarrub
kepada Allah dengan duduk bersila, bersimpuh di keheningan hutan di bawah
pohon, memasrahkan tubuhnya seakan-akan tubuhnya menyatu dengan pohon besar
penuh lilitan akar itu.
Beberapa waktu kemudian, Kuwu (kepala desa)
serta pamong desa Kerangkeng masuk ke hutan tersebut, mencari kayu bakar untuk
dipersembahkan kepada atasan mereka yang hendak menggelar pesta hajat. Dalam
perjalanan itu, Kuwu Kerangkeng beserta rombongan melihat pohon besar di mana
banyak lilitan akar, daun-daunnya mongering rontok, dan batang pohonnya juga
kerontang. Tak pelak, pohon itu menarik perhatian mereka yang memang sedang
mencari kayu bakar kering. Tanpa piker panjang lagi, pak Kuwu langsung
memerintahkan anak buahnya untuk segera menebang pohon besar tersebut. Namun,
ketika anak buah Kuwu mengayunkan kapaknya, tiba-tiba terlihat sosok tubuh
manusia yang tampak sedang duduk bersila, bersimpuh dengan penuh khusyuk.
Ayunan kapak segera dihentikan dan Kuwu beserta pamong desa segera
mendatanginya, dengan perlahan dan hati-hati. Betapa kagetnya Pak Kuwu beserta
rombongannya setelah mereka mengetahui bahwa tubuh yang duduk khusyuk tak
bergerak itu ternyata adalah Lebe mangku yang selama ini diberitakan
menghilang.
Perjalanan hidup Lebe Mangku tidak selamanya
pahit, sebab, tidak berapa lama kemudian, salah seorang puterinya, Anjasmara,
tumbuh mekar menjadi gadis remaja dan memikat hati salah seorang Pangeran
Cirebon. Peristiwa tersebut berlangsung ketika rombongan Pangeran Cirebon,
dengan kereta Keraton Cirebon beroda delapan, mengadakan kunjungan ke kampong Anjasmara
di desa Kerangkeng.
Akhirnya, mereka menikah. Dari pernikahan
dengan Pangeran Cirebon, Anjasmara memperoleh keturunan, antara lain seorang
putera bernama Andul Hadi. Sebab hidup di lingkungan keratin, selain mendapat
pelajaran ketatanegaraan, Abdul Hadi juga memperoleh pelajaran Agama Islam dari
guru agama Islam. Dan karena pengetahuan Islam dan ibadahnya menonjol, Abdul
Hadi dikenal dengan sebutan Kiai Abdul Hadi. Kiai Abdul Hadi inilah yang
kemudian hari menurunkan seorang putera bernama Muqoyyim (Mbah Muqoyyim).
![]() |
Makam Mbah Muqoyyim |
Tirakat
Menjelang akhir hayatnya, Mbah Muqoyyim
melakukan tirakat puasa selama 12 tahun dengan tujuan bertaqarrub kepada Allah.
Mbah Muqoyyim membagi niat puasanya yang 12 tahun itu dalam empat bagian :
- Tiga tahun pertama ditujukan untuk keselamatan Pesantren Buntet;
- Tiga tahun kedua ditujukan untuk keselamatan anak cucunya;
- Tiga tahun ketiga ditujukan untuk para santri dan pengikut setianya;
- Tiga tahun keempat ditujukan untuk keselamatan dirinya.
Sepeninggal Mbah Muqoyyim, pondok Pesantren
Buntet diasuh oleh Kiai yang beberapa diantaranya memiliki garis genealogi
dari Kiai yang masih keturunan Sunan Gunungjati ini.